Rabu, 02 Oktober 2013

Kisah sukses Rusdi Ahmad Baamir menjadi juragan batik


Bagi bangsa Indonesia, keputusan Badan PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO) menjadikan batik sebagai warisan dunia adalah kebanggaan luar biasa. Tapi, bagi Rusdi Ahmad Baamir, batik bukan sekadar kebanggaan, melainkan juga jalan menuju kesuksesan. 

Bagaimana tidak. Dari berdagang batik, Rusdi kini menjadi salah satu pengusaha batik papan atas. Ia memiliki 11 toko batik di pusat perdagangan Tanahabang, memasok batik di 38 gerai Ramayana Department Store, dan memiliki dua workshop (pabrik) batik di Pekalongan, Jawa Tengah.

Rusdi meraih kesuksesan itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ia harus jatuh bangun dalam merintis usaha batik yang diberi merek Salsa. 

Sejak kecil, pria kelahiran Surabaya, 13 Juli 1974, ini sudah memiliki bakat wirausaha. Saat berumur 10 tahun, Rusdi yang sudah kehilangan ayah, membantu menyokong ekonomi keluarga dengan berjualan tali rafia dan plastik bekas di Pasar Ampel, Surabaya. “Waktu itu, saya bisa mengantongi Rp 50 per hari,” kenangnya. 

Menginjak usia 12 tahun, Rusdi menjual parfum dan cenderamata dari Arab Saudi. “Kebetulan, ada kerabat yang tinggal di sana,” ujarnya. Pada 1993, selepas SMA, ia masih berjualan hingga tahun 1995. Tapi, lantaran ingin merasakan menjadi karyawan, ia bekerja pada sebuah pabrik sepatu di Surabaya. Meskipun digaji kecil dan hanya cukup untuk makan dan ongkos, ia tak berkecil hati. “Yang penting dapat pengalaman sebanyak mungkin,” ungkapnya. 

Sebenarnya, Rusdi bekerja di bagian gudang. Tapi, karena lebih tertarik pada bagian pemasaran, ia membujuk seorang temannya di bagian sales marketing untuk mengajaknya keliling bila sedang dapat libur. Ternyata, perannya dalam memasarkan sepatu cukup terlihat. Buktinya, catatan penjualan si salesman meningkat dan mendapat pujian dari atasannya. 

Tapi, setelah berjalan beberapa lama, rekan Rusdi itu memutuskan jalan sendiri lantaran takut ketahuan atasannya. Hasilnya, omzet penjualan kembali merosot. Setelah perusahaan menyelidiki, baru ketahuan bahwa selama ini penjualan bagus lantaran peran Rusdi.

Sadar akan potensi Rusdi, perusahaan lantas mengangkatnya menjadi tenaga sales marketing.Lantaran tak lagi buta di dunia marketing, ia sukses menjual stok sepatu yang menjadi tanggung jawabnya. 

Sayang, karena dihajar krisis ekonomi 1998, perusahaan tak mampu membayar gaji karyawan. Rusdi memilih mengundurkan diri.

Jatuh bangun


Lantaran tak memiliki pekerjaan, Rusdi mencoba memproduksi sepatu hanya dengan modal Rp 2 juta. Tapi, usahanya gulung tikar dengan cepat lantaran kekurangan modal. Saat ini, daya beli masyarakat juga belum pulih. Ia sempat bekerja di perusahaan garmen. Tapi, itu pun tak lama lantaran perusahaan itu akhirnya bangkrut. 

Bosan bekerja sebagai karyawan, Rusdi lantas mencoba berjualan batik di Pasar Turi, Surabaya. Ia mengambil stok baju batik yang menumpuk di gudang pakaian beberapa perusahaan di Surabaya. Ia menjual setelah batik itu dicuci ulang. Sayang, usaha itu tak bertahan lama lantaran kalah bersaing dengan pedagang lain.

Pada tahun 2000, saat mengantarkan saudaranya ke Solo, secara tidak sengaja, Rusdi menemukan pabrik kain yang tutup. Di dalamnya, ada stok kain yang sudah dua tahun menumpuk tak terpakai. Ia lantas membeli kain itu seharga Rp 4.000 per yard dan menjualnya lagi seharga Rp 5.000 per yard ke Pekalongan. “Saya lihat, kain itu masih bisa diproses menjadi batik,” ujarnya.

Dalam satu hari, Rusdi bisa meraup untung Rp 40 juta dari berjualan kain. Bahkan, dari usaha itu, ia mampu membeli rumah seharga Rp 400 juta. Tapi, pada 2002, usahanya merosot lantaran kalah bersaing dengan pengusaha lain yang bermodal lebih besar.

Tak mau putus asa, Rusdi lantas punya ide mengolah kain itu menjadi batik. Ia lantas belajar membatik secara autodidak. Ia memulai bisnis dari nol dengan terjun langsung ke Pekalongan, mendatangi perajin dan penjahit. Dari sini, ia menguasai bisnis batik dari hulu ke hilir.

Rusdi lantas mencoba menjual batik buatannya di Surabaya. “Ternyata diterima pasar,” tuturnya. Memasuki tahun ketiga, tepatnya pada 2005, ia mulai memproduksi batik dalam jumlah besar. Ia memiliki pencetakan, pewarnaan, hingga menghasilkan batik siap jual. 

Tak disangka, usahanya semakin menggeliat. Pada 2006, ia membuka pabrik batik lagi di Pekalongan. Tahun 2007, ia membuka gerai di Tanahabang dengan merek batik Salsa. Nama itu diambil dari nama anak pertamanya, Salsabila.

Saat ini, omzet satu gerai batik Salsa di Tanahabang mencapai Rp 100 juta per bulan. Jumlah karyawannya sudah mencapai 300 orang. Bahkan, sejak 2009 lalu, ia memasok batik ke gerai Ramayana Department Store. Kini, buah kerja keras Rusdi berbuah manis.

Salam Sukses,
Follow @inspirasimulia

Sumber: www.peluangusaha.kontan.co.id

Kisah Sukses Pengusaha Kain Batik Danar Hadi


Indonesia memang sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil batik terkemuka di dunia. Hal itu tidak terlepas dari kiprah ribuan pengusaha batik di tanah air yang selama puluhan tahun menggeluti usaha tersebut. Namun dari ribuan pengusaha batik itu, hanya segelintir pengusaha saja yang berhasil mengembangkan usahanya dengan membangun citra mereknya sendiri hingga dikenal di pasar mancanegara.

Salah satu pengusaha batik yang kini berhasil menyandang nama besar itu adalah H. Santosa, juragan batik asal kota Solo, Jawa Tengah yang telah berhasil membangun dan mengembangkan industri batik dengan merek dagang ‘Batik Danar Hadi’. Masyarakat Indonesia dan para pecinta batik dunia mengenal merek batik Danar Hadi karena memiliki kualitas tinggi sehingga menempatkan merek batik ini di jajaran elit di pasar batik nasional maupun global.

Namun apa dan bagaimana riwayat perjalanan usaha serta kunci rahasia sukses H. Santosa dalam membangun dan mengembangkan Batik Danar Hadi? Ketika ditemui tim redaksi Majalah Kina di kediamannya di Solo, H. Santosa menuturkan perjalanan sejarah perusahaannya yang dia bangun bersama istrinya mulai dari nol.

H. Santosa (kini berusia 64 tahun) mulai merintis usaha Batik Danar Hadi pada tahun 1967, pada usia 26 tahun, segera setelah menikahi wanita idamannya, Danarsih. Nama istrinya itu pula yang memberikan inspirasi kepada Santosa dalam memberi nama usaha batiknya itu dengan mengambil dua suku kata pertama nama istrinya dan diembel-embeli dengan nama depan bapak mertua (ayah istrinya). Jadilah nama ‘Batik Danar Hadi’ sebagai merek batik produksi Santosa.

Status Santosa muda ketika memulai usaha itu adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Namun desakan ekonomi dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga telah mendorong Santosa untuk lebih memfokuskan perhatiannya kepada usaha batik yang baru saja ia dirikan. Kegiatan penyusunan skripsinya yang sudah mencapai tahap akhir pun terpaksa ia tinggalkan begitu saja.


Dunia usaha batik memang bukan barang baru bagi Santosa. Sebab kakeknya bernama Wongsodinomo juga memilik usaha batik walaupun usaha batik yang digeluti kakeknya lebih cenderung mengarah ke arah seni batik. Selain itu, istri Santosa juga berasal dari keluarga pengusaha batik. Dengan berbekal pengalaman keluarga yang pernah ia saksikan dalam mengelola usaha batik ditambah dengan kreatifitas, inovasi dan kemauan keras serta pengetahuan manajemen perusahaan yang diperolehnya selama duduk di bangku kuliah, telah memantapkan tekad Santosa untuk menggeluti bidang tersebut.

Keputusan Santosa untuk terjun ke dunia usaha batik ketika itu sebetulnya dapat dinilai merupakan keputusaan yang sangat berani. Sebab situasi ekonomi pada saat itu sedang tidak kondusif bagi usaha perbatikan dimana banyak usaha batik yang gulung tikar akibat permintaan pasar yang sedang lesu. Namun kondisi itu tidak menyurutkan tekad Santosa untuk mengembangkan usaha batiknya, karena Santosa yakin usaha batik di dalam negeri akan kembali bergairah apabila diberi sentuhan-sentuhan inovasi baru yang sesuai dengan selera pasar. Keyakinan Santosa tersebut ternyata terbukti. Dengan berbagai sentuhan disain dan motif baru hasil pengembangan Santosa, pasar batik di dalam negeri kembali bergairah. Setahap demi setahap merek Batik Danar Hadi mulai dikenal konsumen. Permintaan produk batik dengan merek Batik Danar Hadi pun terus mengalami peningkatan hingga akhirnya merek Batik Danar Hadi dikenal secara luas di masyarakat.

Sukses yang dicapai Santosa ini kemudian menjadi acuan para pengusaha batik lainnya. Secara perlahan tapi pasti, para pengusaha batik baru pun mulai bermunculan. Bahkan para pengusaha batik yang sempat menutup usahanya pun kembali tergerak untuk membuka kembali usaha batiknya.
Santosa memulai usaha batiknya dengan mempekerjakan 20 orang karyawan yang terdiri dari pembatik, pencelup dan penggambar motif. Kegiatan usaha batik Santosa diawali dengan memproduksi batik tulis Wonogiren. Di luar dugaan, batik tulis motif Wonogiren produksi perdana Santosa dengan merek Batik Danar Hadi laku keras di pasar. “Batik tulis Wonogiren ini ternyata sangat disenangi pasar. Kami menerima pesanan ketika itu sampai ribuan kodi,” kata Santosa mengenang masa-masa awal kegiatan usahanya.

Setelah sukses dengan batik tulis Wonogirennya, untuk mengembangkan industri batiknya sekaligus untuk meningkatkan kemampuan produksi batik yang makin diminati pasar, maka pada tahun 1968 Santosa membuka perkampungan batik –mirip sentra industri kerajinan batik yang berada di perkampungan penduduk di sekitar rumah Santosa—yang dikelola oleh PT Batik Danar Hadi. Kemudian pada 1970 Santosa juga mendirikan sentra usaha batik di Masaran, Sragen, Jawa Tengah.

Selanjutnya pada tahun 1975 Santosa juga mendirikan sentra usaha batik di Pekalongan yang memproduksi berbagai jenis dan motif batik. Pendirian sentra usaha batik ini tidak lepas dari adanya tuntutan pasar sejalan dengan makin meluasnya penggunaan kain batik untuk pakaian. Hal itu juga sangat terkait dengan mulai masuknya kain batik ke dunia mode (fashion), khususnya penggunaan kain batik dalam pembuatan kemeja pria dan berbagai pakaian wanita mulai dari atasan, rok/gaun, baju pesta dll.

Untuk mempromosikan penggunaan kain batik untuk pakaian, Santosa pun mulai menggelar sejumlah kegiatan peragaan busana (fashion show) yang menggunakan kain batik seperti di sejumlah hotel di Singapura, di Hotel Indonesia dan Hotel Borobudur Jakarta dll.

Guna lebih mengefektifkan kegiatan peragaan busana dalam rangka memperkuat kegiatan promosi penggunaan kain batik, Santosa melakukan kerjasama dengan sejumlah disainer seperti Hari Darsono dan Prayudi dalam menggelar sejumlah fashion show. Selain itu, Santosa pun mulai melirik bisnis ritel kain dan pakaian jadi batik dengan membuka sejumlah outlet seperti di Jl. Raden Saleh dan kawasan Tebet, Jakarta (tahun 1975). Selain di Jakarta sendiri (kini juga ada di Jl. Melawai Raya dan Jl. Wijaya I), kini outlet-outlet tersebut sudah berkembang ke berbagai kota lain seperti Semarang, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Bali dll., bahkan Santosa pun sempat membuka sejumlah outlet di luar negeri, seperti di Singapura dan di Jedah.

Kegiatan eskpor batik pun sudah digeluti Santosa sejak lama dan kini sudah ada pembeli tetap berbagai produk batik Danar Hadi di luar negeri. Kegiatan ekspor batik yang kini dilakukan Santosa secara rutin antara lain ke Amerika Serikat, Italia dan Jepang. Dengan terus berkembangnya usaha batik, baik di dalam maupun di luar negeri, maka jumlah karyawan yang bekerja di perusahaan Santosa pun terus meningkat dari awalnya hanya 20 orang karyawan, kini menjadi lebih dari 1.000 orang di seluruh tanah air.

Ketika ditanya tentang resep keberhasilannya, Santosa tidak segan-segan mengungkapkannya. “Saya sebetulnya sangat mencintai pekerjaan saya ini yang sangat anggap sebagai sesuatu yang sangat special. Saya mencintai kegiatan processing maupun membuat disain batik. Namun agar dapat laku di pasar maka kegiatan produksi batik itu mulai dari pembuatan disain, motif maupun warnanya harus selalu mengikuti trend dan permintaan pasar,” kata pria kelahiran Solo, 7 Desember 1941, anak ke-5 dari 10 bersaudara putra dari pasangan dr. Doelah dan Ny. Fatimah.

Santosa mengaku dalam proses penciptaan kreasi-kreasi dan inovasi batik, dirinya tidak pernah mengerjakannya sendirian tapi selalu bekerjasama dengan para disainer di perusahaannya. “Saat ini kami memiliki sekitar 30 tenaga disainer. Mereka adalah para disainer professional dan sangat trampil memanfaatkan teknologi komputer dalam menciptakan kreasikreasi dan inovasi baru di dunia perancangan mode,” tutur bapak dari empat anak ini.


Selain itu, dalam mempertahankan kualitas produk batiknya, Santosa juga selalu menerapkan konsep batik asli dalam kegiatan produksi batik Danar Hadi. Sebab, berdasarkan pengalaman, banyak pengusaha batik tidak dapat bertahan lama karena mereka tidak menggunakan proses batik yang asli di samping tidak mengikuti trend permintaan pasar baik menyangkut motif maupun warna. Proses batik yang asli itu adalah metode batik Indonesia mulai dari penggambaran motif, penempelan lilin, pencelupan dst. Dengan proses batik asli tersebut Batik Danar Hadi sendiri kini memproduksi berbagai jenis batik mulai dari batik bermotif pedalaman (kraton) sampai dengan batik pesisiran.

Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, Santoso mengaku yakin batik Indonesia masih bisa terus berkembang asalkan industri batik di dalam negeri bisa mengikuti selera pasar. Karena batik itu bukan hanya untuk dipakai sendiri tapi oleh konsumen. Karena itu, industri batik harus mengikuti selera konsumen.
“Saya tidak khawatir dengan batik dari luar negeri karena perkembangan motif dan industri batik di Indonesia sudah jauh lebih maju dari luar negeri. Kita juga tidak perlu takut karena teknik batik Indonesia jauh lebih unggul dari teknik batik luar negeri. Namun demikian, kita harus terus berupaya untuk maju dan mengikuti trend dan selera pasar. Selama itu kita laksanakan dengan baik, maka kita tidak perlu khawatir dengan batikbatik dari negara lain,” tegas Santosa.

Industri batik Indonesia juga tidak boleh dibiasakan untuk meniru, sebaliknya harus selalu terpacu untuk membuat sesuatu yang baru. Karena aspek originalitas itu selalu mempunyai tempat tersendiri di pasar. Namun demikian Santosa mengaku tidak keberatan apabila ide-ide batiknya ditiru orang lain. “Malah saya bersyukur kalau hasil kreasi saya ditiru orang lain. Karena, itu berarti ide-ide saya itu berguna bagi orang lain.”

Untuk melestarikan budaya dan seni batik nasional, pada tahun 1999 Santosa mendirikan museum batik di kota Solo yang lokasinya persis di samping rumah kediamannya. Museum batik Danar Hadi itu kini memiliki lebih dari 10.000 koleksi batik dari berbagai daerah di seluruh Indonesia disamping koleksi motif batik produksi Danar Hadi sendiri.

Museum batik tersebut didirikan Santosa sebagai wujud dari kecintaan Santosa terhadap batik Indonesia disamping agar suatu kelak nanti anak cucunya dapat melihat karya besarnya serta meneruskan tradisi batik keluarganya.
Salam Sukses Selalu, 
Follow @inspirasimulia

sumber: www.tips-cara-kiat-sukses.blogspot.com 

Minggu, 12 Mei 2013

Kisah Sukses Tirto Utomo Pendiri AQUA


Sebuah ruangan yang terdiri dari tiga lemari kayu, terpajang rapi berbagai produksi Aqua. Sebuah meja rapat bundar berukuran kecil dan meja kerja mengisi ruangan tersebut. Dari ruangan itulah Tirto Utomo mengawali lahirnya perusahaan Aqua pada 1973. “Meja ini merupakan meja yang digunakan pendiri,” kata Willy Sidharta, Presiden Direktur PT. Aqua Golden Missisippi Tbk.

Tirto Utomo, warga asli Wonosobo, mendirikan perusahaan air munum dalam kemasan (AMDK) karena ketika bekerja sebagai pegawai Pertamina di awal tahun 1970-an Tirto bertugas menjamu delegasi sebuah perusahaan Amerika Serikat. Namun jamuan itu terganggu ketika istri ketua delegasi mengalami diare yang disebabkan karena mengonsumsi air yang tidak bersih. Tirto kemudian mengetahui bahwa tamu-tamunya yang berasal dari negara Barat tidak terbiasa meminum air minum yang direbus, tetapi air yang telah disterilkan. 

Inisiatif bisnispun segera datang. Bersama saudara-saudaranya, Tirto mulai mempelajari cara memproses air minum dalam kemasan. Adiknya, Slamet Utomo diminta untuk magang di Polaris, sebuah perusahaan AMDK yang ketika itu telah beroperasi 16 tahun di Thailand. Tidak mengherankan bila pada awalnya produk Aqua menyerupai Polaris mulai dari bentuk botol kaca, merek mesin pengolahan air, sampai mesin pencuci botol serta pengisi air. 

Usai mengerti cara kerja pembuatan air minum dalam kemasan, Tirto men­dirikan pabrik pertamanya di Pondok Ungu, Bekasi, dan menamai pabrik itu Golden Missisippi dengan kapasitas produksi enam juta liter per tahun. Tirto sempat ragu dengan nama Golden Missisippi yang meskipun cocok dengan target pasarnya, ekspatriat, namun terdengar asing di telinga orang Indonesia. Konsultannya, Eulindra Lim, mengusulkan untuk menggunakan nama Aqua karena cocok terhadap imej air minum dalam botol serta tidak sulit untuk diucapkan. Tirto kemudian mengubah merek produknya dari Puritas menjadi Aqua. 

Dua tahun kemudian, produksi pertama Aqua diluncurkan dalam bentuk kemasan botol kaca ukuran 950 ml dengan harga jual Rp.75, hampir dua kali lipat harga bensin yang ketika itu bernilai Rp.46 untuk 1.000 ml.

Bermodal Keberanian 
Meskipun saat itu air mineral dalam kemasan belum ada di Indonesia, Tirto tetap yakin dengan langkahnya. Keluar dari tempat kerjanya yang mapan di Pertamina, pada 1982, Tirto mengganti bahan baku (air) yang semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium. 

Dengan bantuan Willy Sidharta, sales dan perakit mesin pabrik pertama Aqua, sistem distribusi Aqua bisa diperbaiki. Willy menciptakan konsep delivery door to door khusus yang menjadi cikal bakal sistem pengiriman langsung Aqua. Konsep pengiriman menggunakan kardus-kardus dan galon-galon menggunakan armada yang didesain khusus membuat penjualan Aqua Secara konsisten membaik. 

tahun 1974 sampai 1978 adalah masa-masa sulit bagi perusahaan ini. Apalagi permintaan konsumen masih sangat rendah. Masyarakat kala itu masih “asing” dengan air minum dalam kemasan. Apalagi harga 1 liter Aqua lebih mahal daripada harga 1 liter minyak tanah.

Tapi pemilik Aqua tidak menyerah. Dengan berbagai upaya dan kerja keras, akhirnya Aqua mulai diterima masyarakat luas. Bahkan tahun 1978, Aqua telah mencapai titik BEP. Dan saat itu menjadi batu loncatan kisah sukses Aqua yang terus berkembang pesat. 

Saat itu memang produk Aqua ditujukan untuk market kelas menengah ke atas, baik dalam rumah tangga, kantor-kantor dan restoran. Namun sejak tahun 1981, Aqua telah berganti kemasan dari semula kaca menjadi plastik sehingga melahirkan berbagai varian kemasan. Hal ini menyebabkan distribusi yang lebih mudah dan harga yang lebih terjangkau sehingga produk Aqua dapat dijangkau masyarakat dari berbagai kalangan. 

Dari sisi kemasan, Aqua juga menjadi pelopor. Botol plastiknya yang semula berbahan PVC yang tidak ramah lingkungan, sejak 1988 telah diganti menjadi bahan PET. Padahal saat itu di Eropa masih menggunakan bahan PVC. Selain itu desain botol Aqua berbentuk persegi bergaris yang mudah dipegang telah menggantikan desain botol bulat Eropa. Bahkan botol PET ciptaan Aqua ini telah dijadikan standar dunia.

Pada 1984, Pabrik AQUA kedua didirikan di Pandaan, Jawa Timur. Dan Pada 1995, Aqua menjadi pabrik air mineral pertama yang menerapkan sistem produksi in line di pabrik Mekarsari. Pemrosesan air dan pembuatan kemasan AQUA dilakukan bersamaan. Hasil sistem in-line ini adalah botol AQUA yang baru dibuat dapat segera diisi air bersih di ujung proses produksi, sehingga proses produksi menjadi lebih higienis.

Aqua juga sukses di  mancanegara. Sejak 1987, produk Aqua telah diekspor ke berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Fillipina, Australia, Maldives, Fuji, Timur Tengah dan Afrika. Berbagai prestasi dan penghargaan pun didapatkan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

Pada tahun 1998, karena ketatnya persaingan dan munculnya pesaing-pesaing baru, Lisa Tirto sebagai pemilik Aqua Golden Mississipi sepeninggal ayahnya Tirto Utomo, menjual sahamnya kepada Danone pada 4 September 1998. Akusisi tersebut dianggap banyak pihak sebagai langkah tepat setelah beberapa cara pengembangan tidak cukup kuat menyelamatkan Aqua dari ancaman pesaing baru. 

Langkah ini berdampak pada peningkatan kualitas produk dan menempatkan AQUA sebagai produsen air mineral dalam kemasan (AMDK) yang terbesar di Indonesia. Pada tahun 2000, bertepatan dengan pergantian milenium, Aqua meluncurkan produk berlabel Danone-Aqua.

Almarhum Tirto Utomo pun dinobatkan sebagai pencetus air minum dalam kemasan dan masuk dalam “Hall of Fame” . Dan berdasarkan survey Zenith International, sebuah badan survey Inggris, Aqua dinobatkan sebagai merk air minum dalam kemasan terbesar di Asia Pasifik, dan air minum dalam kemasan nomor dua terbesar di dunia. Sebuah prestasi yang mungkin tidak pernah dikira-kira.■

Nekat Mendirikan Aqua
Tirto Utomo, kelahiran Wono­sobo, Jawa Tengah 8 Maret 1930, harus bersekolah Mage­lang yang berjarak sekitar 60 kilometer, ketika SMP, karena me­mang di Wonosobo belum ada SMP. Per­ja­lanan itu ditempuh dengan se­peda. 
Dibesarkan dari anak seorang pengusaha susu sapi an pedagang ternak, lulus SMP, Tirto Utomo melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di Semarang dan kemudian di Malang. Masa remaja Tirto Utomo dihabiskan di Malang dan di situlah dia bertemu dengan Lisa / Kienke (Kwee Gwat Kien), yang kelak menjadi istrinya. 

Semasa kuliahm Tirto mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun, kemudian Tirto pindah ke Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna.

Pada tahun 1959. Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan keluarga menjadi tidak jelas. Tirto Utomo menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Sementara Lisa berperan sebagai pencari nafkah yaitu dengan mengajar dan membuka usaha catering, Tirto belajar dan juga ikut membantu istrinya. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum dan bekerja di Pertamina. 
Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri. Pada usia 48 tahun, Tirto Utomo memilih pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni AQUA, PT. Baja Putih, dan restoran Oasis.

Di kalangan karyawan dan teman-temannya, Tirto dikenal sebagai pribadi yang sangat sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan pelatihan manajemen.

“Banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen.” Kata Tirto Utomo. Tirto memang sudah wafat pada tahun 1994 namun prestasi Aqua sebagai produsen air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia tetap dipertahankan sampai sekarang.

 “Dulu bukan main sulitnya. Dikasih saja orang tidak mau. Untuk apa minum air mentah’, itulah celaan yang tak jarang kami terima,” ujar Willy Sidharta. Saat itu minuman ringan berkabonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa dianggap sebagai gagasan gila


Salam Sukses, Follow @Inspirasi_mulia